Bakteri yang hidup bebas (planktonik) dalam perairan di alam akan cenderung untuk melekat (sesil) ke berbagai macam permukaan baik abiotik maupun biotik. Pelekatan ini didukung berbagai faktor diantaranya oleh matrik ekstrasellular. Di alam, bakteri yang melekat ini jumlahnya jauh lebih besar dari yang hidup bebas. Mikroorganisme yang melekat erat ke suatu permukaan disebut dengan biofilm, dimana kehadirannya menyebabkan masalah yang potensial terhadap beberapa industri, salah satunya adalah industri makanan. Kekhawatiran terjadi bila bakteri patogen melekat pada alat pemerosesan makanan. Kalau biofilm tidak dibersihkan, organisme yang melekat dalam perkembangannya dapat terlepas dari permukaan dan mengkontaminasi produk sebelum produksi. Masalah yang ditimbulkan oleh adanya kontaminasi ini adalah terjadinya pembusukan makanan yang akan memperpendek masa simpan (shelf-life) maupun penyebaran penyakit melalui makanan (foodbom desease). Pemerosesan jenis-jenis makanan laut (seafood) pada pasca pallen memberi peluang bagi bakteri yang terbawa pada permukaan tubuh maupun dari ususnya diwaktu pembersihan, membentuk biofilm pada permukaan alat-alat pengolahan, dimana setelah penangkapan, makanan laut ini akan dibilas dengan air pada bak-bak penampungan dan dibersihkan. Pada tahap inilah kekhawatiran bakteri terlepas ke air pencucian dan melekat pada permukaan bahan tempat pengolahan.
Secar struktural dan fungsional keberadaan gel biofilm sangat berbeda dengan sel planktonik. Hal inilah yang menjadi dasar kekhususan sekaligus keistimewaan lingkungan kehidupan mikroba (niche) ini, yang memberikan dampak negatif pada beberapa lingkungan perindustrian. Sel Biofilm lebih tahan beribu-ribu kali dibandingkan dengan set planktonik terhadap bahan-bahan antimikroba, maupun kondisi fisik yang ekstrim seperti panas. Oleh sebab itu bila biofilm ditemukan pada aliran pemerosesan makanan, pengontrolannya memerlukan usaha yang lebih keras dan teknik-teknik sanitasi yang khusus seperti konsentrasi yang lebih tinggi dari bahan anti mikroba, pemanasan yang lebih lama pada suhu tinggi, dan lain-lain.
Beberapa bakteri di perairan telah dibuktikan mencemari makanan laut seperti ikan, udang, tiram, kerang, dan lain-lain. Jenis-jenis yang ditemukan sangat bervariasi, diantaranya mulai dari jenis yang sudah lama menjadi perhatian seperti Escherichia coli, Salmonela, Vibrio cholera, Pseudomonas aeruginosa sampai kepada jenis yang baru menjadi perhatian (emerging pathogen) seperti Aeromonas hydrophila, Vibrio parahaemolyticus dan Listeria monocytogenes.
Di alam, biofilm terdiri dari lapisan gel yang terbentuk dari multispesies mikroorganisme dan matrik yang tersusun secara tidak beraturan serta bahan-bahan organik yang terperangkap didalamnya yang melekat kuat (irreversibel) pada suatu permukaan padat. Pelekatan ke suatu material terjadi dengan menggunakan matrik ekstrasellular, yang terutama terdiri dari polisakarida. Sel kemudian membelah diri dalam matrik ini untuk menghasilkan gel anak. Sel anak dapat terlepas dari biofilm, kemudian akan mengkoloni permukaan dan dapat membentuk biofilm baru jika kondisi makanan mencukupi. Dalam kondisi yang diperlakukan di laboratorium biofilm dapat terbentuk dari satu jenis mikroorganisme.
Biofilm berkembang pada permukaan yang terbilas dalam lingkungan berair, baik permukaan biotik (tanaman air, binatang), maupun abiotik (batu, logam, dan tembok). Biofilm terbentuk sangat cepat dalam sistem yang mengalir dimana suplai makanan yang teratur cukup tersedia. Polimer ekstrasellular yang dihasilkan dalam perkembangan biofilm, menyebabkan terlihatnya lapisan berlendir pada permukaan. Efek yang ditimbulkan oleh biofilm menyangkut area yang luas yaitu (1) kehilangan energi dalam unit pemindah panas, (2) korosi logam, (3) pertumbuhan pada alat-alat rumah sakit, (4) kontaminasi pada alat pendistribusian air minum, dan (5) kontaminasi permukaan alat pemerosesan makanan
Kalau dilihat perlakuan yang diberikan pada jalur pemerosesan pada tempat penerimaan udang, tidak diberikan klorin namun pada setiap tong diberi es balok –yang cukup banyak tapi es cenderung untuk mengapung dipermukaan tong, pada tempat pencucian I diberi 50 -75 ppm klorin, sedangkan ditempat pencucian III diberi 10 –25 ppm. Berdasarkan hasil yang didapatkan terlihat bahwa pemberian sanitizer ini tidak efektif mencegah pembentukan biofilm pada alat/tempat pengolahan yang berupa stainless steel. Hal ini juga berarti bahwa kosentrasi klorin yang diberikan tidak membunuh semua mikroba planktonik pada air pencucian, karena biofilm berasal dari sel planktonik. Kalau dilihat kosentrasi klorin pada tempat pencucucian I sudah cukup tinggi. Kurang efektifnya klorin pada kosentrasi yang dipakai pada pabrik ini dapat disebabkan oleh implementasinya yang kurang tepat di lapangan. Cara pemerosesan mungkin dapat menyebabkan konsentrasi klorin menjadi tidak stabil seperti penambahan udang berkali-kali pada air pencucian yang sama. Selain itu klorin juga tidak stabil. akibat pengaruh cahaya. Oleh sebab itu perlu penggantian air pencuci dengan klorin terlarut untuk jangka waktu yang tidak terlalu lama Selain itu kontaminasi silang dapat berasal dari para pekerja di jalur pemerosesan yang melibatkan ratusan orang. Jadi walaupun sanitizer sudah diberikan di suatu titik namun bila setelah itu masih ada penanganan oleh manusia rekontaminasi dapat terjadi. Tempat pemerosesan pada pabrik ini bervariasi dari tong besi, bak plastik, serta keranjang plastik, namun bahan ini juga mungkin dapat ditumbuhi biofilm karena dan hasil penelitian Jamilah (1998) Fadia (1999) biofilm juga ditemukan pada bahan plastik dan kayu. Tetapi dari hasil penelitian Jamilah (1998) penggunaan klorin 50 ppm dapat menekan jumlah sel sebanyak 2log pada bahan kayu dengan sel biofilm tunggal A.hydrophila pada waktu kontak 24 jam.
Walaupun jumlah sel biofilm yang ditemukan sangat rendah namun kehadirannya harus dipertimbangkan mengingat ketahanannya yang jauh lebih tinggi terhadap kondisi-kondisi ekstrim seperti panas dan bahan-bahan kimia (Costerton et al.1987). Hal ini dapat terjadi akibat pembentukan matrik ekstraseluler yang berfungsi selain sebagai penguat pelekatan juga dapat melindungi sel dari kondisi yang kurang menguntungkan. Kehadiran biofilm mungkin sedikit sekali menjadi perhatian ahli mikrobiologi makanan di Indonesia, namun di Amerika Serikat justru sebaliknya, banyak penelitian yang sudah dipublikasikan tentang kekhawatiran terhadap pembentukan biofilm di lingkungan pemerosesan makanan. Biofilm bisa berada di lingkungan alam, industri maupun di kesehatan. Keberadaan biofilm bisa menguntungkan bisa merugikan, tergantung dimana dan kapan tumbuhnya. Pada instalasi pengolahan air limbah, bioremediasi dan biofilter, biofilm justru dipacu pembentukannnya karena membantu proses treatment. Di bidang kesehatan biofilm dikenal sangat berbahaya karena menjadi penyebab dari 80% penyakit. Biofilm di kateter dan peralatan kesehatan lainnya bisa menyebabkan infeksi dan bahkan juga penolakan implant. Beberapa penyakit yang disebabkan biofilm adalah dental caries, periodonitis, endocarditis, infeksi paru, infeksi kandung kemih, infeksi yang terkait dengan peralatan artifisial (implant). Di lain pihak di dalam sistem pencernakan kita, terutama di usus besar keberadaan biofilm sangat bermanfaat bagi kesehatan.
Dalam industri (baik pangan, minuman dan farmasi) keberadaan biofilm belum banyak dikenal dan dibicarakan walaupun sudah sering menimbulkan permasalahan selama proses produksi. Beberapa proses industri yang berbasis air seperti pengolahan dan distribusi air proses, pulp & paper, dan cooling tower sering bermasalah dengan biofilm. Timbulnya bau tak sedap, korosi yang menyebabkan kerusakan peralatan produksi, dan kontaminasi produk akhir adalah problem yang selalu muncul di industri dan seringkali menimbulkan kerugian yang besar. Pada industri makanan dan minuman tumpahan pada belt conveyor sering menyebabkan terjadinya biofilm sehingga mengganggu gerakan conveyor tersebut dan menyebabkan kontaminasi. Selama ini para mikrobiologis masih berfokus pada sel tunggal yang bebas (free-floating cell) yang ditumbuhkan di laboratorium padahal di alam mayoritas bakteri beragregat dalam bentuk biofilm yang sifatnya sangat berbeda. Di industri pengujian laboratorium juga berasumsi semua sel dalam kondisi bebas sehingga hasil pengujian yang diperoleh seringkali bias. Jumlah bakteri yang rendah pada pengujian TPC tidak selalu berarti jumlah bakteri di sistem tersebut rendah. Pelepasan koloni biofilm secara sporadis sering menyebabkan kontaminasi air proses maupun produk akhir yang tak terduga.
Kondisinya yang unik menyebabkan biofilm sulit untuk dibersihkan dan disinfeksi karena sangat tahan terhadap disinfektan dan antibiotik. Bakteria dalam biofilm terbukti bisa 150-3000 kali lebih tahan terhadap klorin bebas dan 2-100 kali lebih tahan terhadap monochloramine dibanding dengan sel tunggal. Bahkan dalam penelitian Borenstein (1994) dibuktikan bahwa biofilm yang bertahan dari biosida mampu membentuk lebih banyak eksopolimer setelah treatment untuk melindungi koloninya. Biofilm, tanpa kita sadari sudah sering kita lihat dan rasakan kehadirannya di sekitar kita. Beberapa contoh yang sering kita lihat adalah plak di gigi kita, lapisan licin dan berlendir di dinding bagian dalam vas bunga atau bak mandi yang sudah beberapa hari tidak diganti airnya, batu yang licin di sungai, dll. Biofilm biasanya terbentuk di setiap permukaan yang kontak dengan air. Suatu koloni biofilm bisa berasal dari satu jenis bakteri saja tetapi umumnya berupa kumpulan dari berbagai macam bakteri, fungi, parasit yang masing-masing mempunyai fungsi dalam sistem tersebut, yang saat ini dikenal sebagai “slime cities”. Menurut perkiraan 99% dari bakteri di alam hidup dalam komunitas biofilm. Sifat mikroorganisme saat berbentuk biofilm akan sangat berbeda dengan saat berbentuk sel tunggal. Perlindungan lendir tersebut menyebabkan sulitnya proses sanitasi dan pengobatan penyakit karena bahan kimia atau antibiotik sulit menembus sampai ke sel.
Proses pembentukan biofilm dimulai saat satu sel bekteri menempel di suatu permukaan (hidup atau mati) yang berair dan mulai mengeluarkan sekresi lendir (extracellular polymeric substances). Penelitian membuktikan bahwa sel Pseudomonas aeruginosa yang dikenal sebagai bakteri “ pioneer “ dapat menempel ke stainless steel, bahkan pada permukaan yang mengalami electropolished, dalam waktu 30 detik sejak paparan. Pada proses selanjutnya, berbagai macam sel mikroorganisme lain akan mulai bergabung dan akhirnya setelah mencapai suatu jumlah/ketebalan tertentu mereka saling berkomunikasi menggunakan sinyal (quorum sensing) untuk berbagi tugas dan mengatur aktifitas di koloni biofilm tersebut. Pada saat itu sifat biokimia sel berubah dari sifat sel tunggal menjadi sifat berdasarkan interaksinya di biofilm tersebut.
Sanitation efforts in food facilities may fail if biofilms have formed in the environment; however, failure or inadequacy of cleaning/sanitation programs leads to biofilm formation in the first place. Obviously, biofilm prevention—or removal if prevention fails—is a major issue in food processing. Biofilms may be defined as communities of bacterial cells that a) adhere to each other and to surfaces, b) are surrounded, held together and protected by glue-like materials (polysaccharides) that they produce and c) have different gene expression profiles and phenotypes compared with normal cells. Biofilms occur widely in nature and may become major problems in wounds and surgical instruments as well as in foods and processing facilities.
While microbial cells have the ability to attach to surfaces where they can multiply and grow, their attachment to surfaces is facilitated by the presence of a conditioning layer of nutrients or soil on the surface that may be the result of inadequate or infrequent cleaning. Biofilm formation is then enhanced with increased contact time of the cells with the surface and conditions that increase the rate of bacterial growth, such as nutrient level, acidity (or pH) and temperature. Furthermore, cell adherence and biofilm growth are affected by the type of attachment surface and species of bacteria. Attachment of some bacteria to surfaces, such as stainless steel, polypropylene, rubber and glass, may occur within 20 minutes of contact time. Biofilm development may occur within 24 hours and can grow to millimeters in a few days. Biofilm bonds become stronger with time, but cells may also dislodge or slough off and serve as sources of contamination on other surfaces or food. Biofilm-forming bacteria include Listeria, Salmonella, Campylobacter, Escherichia coli, Pseudomonas, lactic acid-producing bacteria and thermotolerant (heat-tolerating) species. They may occur as mixed cultures, but often one species will dominate.
Just Where Are They?Biofilms may be present on floors, walls, pipes and drains, and surfaces of equipment including stainless steel, aluminum, nylon, Teflon, rubber, plastic, Buna-N and glass. Food-contact surfaces such as conveyor belts, pasteurizers, crevices, gaskets and dead spaces, as well as areas that are hard to clean and sanitize, may harbor biofilms. Also of concern is the potential attachment of microorganisms on food surfaces, which may affect the efficacy of interventions applied to carcasses, meat, produce or other foods to reduce contamination. Since microorganisms are ubiquitous and unavoidable as environmental contaminants of raw food products, much interest has been focused on research dealing with the formation and control of biofilms in food environments, especially as DNA fingerprinting techniques are used more frequently to compare bacterial isolates from various sources. Such research has demonstrated that pathogens are able to persist in processing environments for long periods of time. For example, L. monocytogenes has been found to persist in food plants for months, and even up to several years.
Bacterial cells in biofilms may be as much as 500 times more resistant to sanitizing chemicals than free-flowing or suspended cells (planktonic) of the same species. Studies have found that sanitizer concentrations and exposure times may have to be increased 10- to 100-fold to be effective against cells in biofilms compared with interventions found to be effective against planktonic cells. Sanitizers and disinfectants are very effective against planktonic cells because they have a larger surface area exposed to the sanitizer, while attachment of cells and formation of biofilms may also lead to the expression of genes that make bacteria more resistant to sanitizers. In addition, the increased resistance of biofilms to antimicrobial compounds may be due to the exopolysaccharide layer that surrounds the biofilm and protects the cells. Obviously, it is crucial to prevent the formation of and to remove and inactivate existing biofilms. Understanding the conditions and mechanisms that allow bacteria to attach to surfaces, including food and food-contact surfaces, is critical in developing new methods to prevent, inactivate or remove attached bacteria from foods and food-contact surfaces.
Biofilm Findings Among other research activities, the Pathogen Reduction Laboratory at the Center for Meat Safety & Quality of Colorado State University has been extensively involved in studies of biofilm control and biofilm formation by pathogens such as E. coli O157:H7 and L. monocytogenes on food-contact surfaces and food products. Some selected findings include the following:E. coli Findings:
• E. coli O157:H7 remained detectable on stainless steel for up to four days in mixed organic acid and water carcass decontamination runoff fluids (washings).• It may attach to stainless steel and high-density polyethylene food-contact surfaces not only at abusive temperatures (60 °F) but also during cold storage (40 °F), demonstrating the need for development of effective sanitation programs for various plant environments.• Contaminated beef fat was better than ground beef in the transfer of E. coli O157:H7 to beef fabrication contact surfaces. • Drying of beef residues on surfaces resulted not only in cell attachment, but also in cell entrapment on surfaces. • If introduced into the processing environment, E. coli O157:H7 could be considered a source of product contamination since the pathogen can attach and grow under limited nutrient availability if temperature permits.• Plastic beef-contact surfaces may allow more biofilm formation by E. coli O157:H7 than stainless steel, and inoculated E. coli O157:H7 cells allowed to dry on stainless steel before exposure to reduced nutrient but moist conditions had a stronger strength of attachment but a slower growth rate than cells that remained hydrated.• If allowed to dry on surfaces, E. coli O157:H7 may have an increased strength of attachment, making its removal more difficult, and thus demonstrating the importance of proper cleaning and sanitizing of equipment surfaces after each use. • Beef residues may facilitate attachment, while spoilage bacteria may outgrow E. coli O157:H7 in biofilms.• Application of decontamination interventions on beef carcass sides immediately before fabrication should be useful in pathogen control because such processes decreased attachment and, subsequently, pathogen levels on fabrication equipment surfaces.• Cell attachment to beef fabrication surfaces varied among nine strains of E. coli O157:H7, making strain selection important in biofilm studies.• No differences were observed in biofilm formation between quorum-sensing positive and negative strains of E. coli O157:H7.• Surface material did not influence the fate of biofilm cells exposed to sanitizers.• When biofilms are present, sanitizers should be applied at the highest allowable concentrations for extended dwell times.• Adequate cleaning before sanitation is essential.
• E. coli O157:H7 remained detectable on stainless steel for up to four days in mixed organic acid and water carcass decontamination runoff fluids (washings).• It may attach to stainless steel and high-density polyethylene food-contact surfaces not only at abusive temperatures (60 °F) but also during cold storage (40 °F), demonstrating the need for development of effective sanitation programs for various plant environments.• Contaminated beef fat was better than ground beef in the transfer of E. coli O157:H7 to beef fabrication contact surfaces. • Drying of beef residues on surfaces resulted not only in cell attachment, but also in cell entrapment on surfaces. • If introduced into the processing environment, E. coli O157:H7 could be considered a source of product contamination since the pathogen can attach and grow under limited nutrient availability if temperature permits.• Plastic beef-contact surfaces may allow more biofilm formation by E. coli O157:H7 than stainless steel, and inoculated E. coli O157:H7 cells allowed to dry on stainless steel before exposure to reduced nutrient but moist conditions had a stronger strength of attachment but a slower growth rate than cells that remained hydrated.• If allowed to dry on surfaces, E. coli O157:H7 may have an increased strength of attachment, making its removal more difficult, and thus demonstrating the importance of proper cleaning and sanitizing of equipment surfaces after each use. • Beef residues may facilitate attachment, while spoilage bacteria may outgrow E. coli O157:H7 in biofilms.• Application of decontamination interventions on beef carcass sides immediately before fabrication should be useful in pathogen control because such processes decreased attachment and, subsequently, pathogen levels on fabrication equipment surfaces.• Cell attachment to beef fabrication surfaces varied among nine strains of E. coli O157:H7, making strain selection important in biofilm studies.• No differences were observed in biofilm formation between quorum-sensing positive and negative strains of E. coli O157:H7.• Surface material did not influence the fate of biofilm cells exposed to sanitizers.• When biofilms are present, sanitizers should be applied at the highest allowable concentrations for extended dwell times.• Adequate cleaning before sanitation is essential.
Listeria Findings:• L. monocytogenes cells have the ability to adhere to various food-contact surfaces used in food processing, food service and at home, including polyethylene, polypropylene and laminates; if not properly cleaned, they form biofilms that are resistant to sanitizers.• Multi-species biofilms containing high levels of L. monocytogenes developed and survived for up to 14 days on high-density polyethylene and polypropylene surfaces at room temperature.• L. monocytogenes survived and was recovered by wiping from kitchen countertop (laminate) surfaces at room temperature (77 °F; 50% and 90% relative humidity) in the presence of food residues (ham homogenate) for at least 96 hours. Populations recovered at 90% relative humidity were higher than those recovered at 50% relative humidity.• Biofilm survival was greater on rough than on smooth high-density polyethylene surfaces.• Sanitizer efficacies were higher against older biofilms on smooth surfaces versus those on rough surfaces.• There were no statistical differences in the efficacy of various wiping materials in removing pathogen cells from laminate surfaces, but numbers of cells recovered ranged from 3.6 to 1.9 logs per square centimeter at 50% relative humidity. • Although sanitizers were effective against attached L. monocytogenes cells, efficacy decreased as the biofilm developed.• Sanitizers (acetic or lactic acid-, sodium hypochlorite-, quaternary ammonium-, or hydrogen peroxide-based) were effective in reducing L. monocytogenes, especially in younger biofilms.• A lactic acid-based sanitizer (pH 3.03) was the most effective, while quaternary ammonium-based sanitizers of higher pH (10.5—11.5) were more effective than those of lower pH (6.2—8.7). • Of products commonly found in households, effectiveness against three pathogens (Salmonella, E. coli O157:H7 and L. monocytogenes) increased in the order: household bleach (0.0314%) > hydrogen peroxide (3%) > undiluted vinegar > baking soda (50% sodium bicarbonate), while pathogen sensitivity followed the order Salmonella > E. coli O157:H7 > L. monocytogenes.• Sanitizer activity increased at warm temperatures (130 °F) and longer exposure times (10minutes).• Sanitation of cutting boards should be performed with selected sanitizers after each use, or at least daily, in order to achieve maximum efficacy.
Control
Prevention of biofilm formation may be accomplished by avoiding conditions that lead to cell attachment and selecting conditions that make the environment unfavorable for microbial growth; however, this is not often possible. Proper cleaning and sanitation work best for biofilm prevention while its removal is only necessary if prevention fails. Biofilm removal and inactivation is achieved by combining proper cleaning and sanitizing agents, adequate exposure time, proper temperature and mechanical action. This combination dissolves the biofilm and the organic material to which it adheres, allowing the sanitizer to inactivate the released, sensitive cells. Extensive scrubbing with proper chemicals is important in biofilm removal. Incomplete biofilm removal may promote growth of remaining cells, and appearance of sporadic bacterial colonies on agar plates from sanitized equipment swabs may indicate presence of biofilms.
Prevention of biofilm formation may be accomplished by avoiding conditions that lead to cell attachment and selecting conditions that make the environment unfavorable for microbial growth; however, this is not often possible. Proper cleaning and sanitation work best for biofilm prevention while its removal is only necessary if prevention fails. Biofilm removal and inactivation is achieved by combining proper cleaning and sanitizing agents, adequate exposure time, proper temperature and mechanical action. This combination dissolves the biofilm and the organic material to which it adheres, allowing the sanitizer to inactivate the released, sensitive cells. Extensive scrubbing with proper chemicals is important in biofilm removal. Incomplete biofilm removal may promote growth of remaining cells, and appearance of sporadic bacterial colonies on agar plates from sanitized equipment swabs may indicate presence of biofilms.
Biofilms menjaga kesatuan formasinya dengan saling berikatan satu sama lain pada untaian molekul gula. Hal tersebut yang kemudian disebut sebagai EPS atau extracellular unsur polymeric, yaitu terbentuknya polimer antar biofilm, sehingga kemungkinan untuk melepas menjadi sulit. Karena dengan mengekskresikan EPS ini, masing-masing biofilm sangat mungkin saling mensuport untuk berkembang dalam dimensi yang kompleks dan sangat erat (utuh). Matriks yang terbentuk dengan EPS ini akan melindungi sel dan memudahkan komunikasi antar sel melalui isyarat biokimia. Beberapa biofilms berada dalam fasa cair, dimana keadaan tersebut membantu sel dalam mendistribusikan zat yang dibutuhkan dan memberi sinyal molekul pada sel. Matriks ini cukup kuat, oleh sebab itu pada kondisi-kondisi tertentu, biofilm dapat berwujud padat. Masing-masing layer dalam biofilm akan mempunyai ketebalan yang berbeda, hal ini sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan tumbuhnya.
Biofilm memberi dampak kepada berbagai kehidupan sehari-hari, oleh sebab itu riset mengenai biofilm menjadi penting dan memperoleh popularitas. Biofilm dapat tumbuh di berbagai permukaan, termasuk batu dan air, gigi, makanan, pipa, alat-alat medis dan jaringan implant. Walaupun biofilm biasanya mengakibatkan kerugian seperti infeksi, adakalanya dia juga menguntungkan. Contohnya biofilm dapat untuk memurnikan air dengan cara menguraikan senyawa-senyawa berbahaya dalam perairan. Sedangkan efek negative biofilm diantaranya adalah kontaminasi air, makanan, gangguan terhadap alat pendistribusian panas, dan kontaminasi peralatan medis serta jaringan implant seperti infeksi jantung buatan. Kolonisasi ini dapat menimbulkan operasi ulang, amputasi bahkan kematian. Dampak ini sudah menyita perhatian banyak peneliti dari negara-negara maju seperti Amerika, Australia, Inggris terutama bidang-bidang terkait dengan mikrobiologi untuk menggali proses terjadinya biofilm, keaneka ragaman spesies, faktor-faktor pemacu, aakibat dan pengendalian biofilm.
Masalahnya sekarang seberapa jauh peneliti di Indonesia menyadari fakta tentang biofilm sehingga kita akan memfokuskan penelitian-penelitian terutama mikrobiologi dengan merujuk kepada fakta yang sudah ada tentang biofilm. Karena kita akan dapat dikacaukan oleh banyak penelitian selama ini yang berdasarkan kepada sel mikroorganisme yang planktonik terutama yang bertujuan untuk pengendalian serta pemanfaatan. Sedangkan bentuk kehidupan yang dominant dari mikroba di alam adalah dalam bentuk biofilm (lebih dari 90%). Selain itu biofilm mempunyai keunggulan dibandingkan sel planktonik dimana dia lebih tahan terhadap bahan antimikroba, temperature, pH dll sampai beberapa ribu kali. Maka akan sangat efektif bila pengendalian dan pemanfaatan mikroba dilakukan terhadap mikrolingkungsn biofilm ini.
Biofilm terdiri dari sel-sel mikroorganisme yang melekat erat ke suatu permukaan sehingga berada dalam keadaan diam (sesil), tidah mudah lepas atau berpindah tempat (irreversible). Pelekatan ini seperti pada bakteri disertai oleh penumpukan bahan-bahan organik yang diselubungi oleh matrik polimer ekstraseluller yang dihasilkan oleh bakteri tersebut. Matrik ini berupa struktur benang-benang bersilang satu sama lain yang dapat berupa perekat bagi biofilm.
Biofilm terbentuk khususnya secara cepat dalam sistim yang mengalir dimana suplai nutrisi tersedia secara teratur bagi bakteri. Pertumbuhan bakteri secara ekstensif disertai oleh sejumlah besar polimer ekstraseluller, menyebabkan pembentukan lapisan berlendir (biofilm) yang dapat dilihat dengan mata telanjang pada permukaan baik biotik seperti daun dan batang tumbuhan air, kulit hewan-hewan air maupun abiotik seperi batu-batuan, bagian bawah galangan kapal dll.
Bakteri di habitat alamiah umumnya dapat eksis dalam dua lingkungan fisik yang berbeda:(i) keadaan planktonik, berfungsi secara induvidu dan (ii) keadaan diam (sesil) dimana dia melekat ke suatu permukaan membentuk biofilm dan berfunsi sebagai komunitas yang bekerjasama dengan erat.
Kepadatan populasi yang rendah adalah karakteristik umum dari komunitas planktonik pada ekosistim mikroba di alam. Keadaan ologotropik dari ekositim ini menyiratkan ketidakcukupan masukan nutrient untuk mendukung aktivitas mikroba lebih jauh. Jika kepadatan populasi rendah, kompetisi antara bakteri secara individu untuk ruang, oksigen, serta faktor-faktor pembatas lainnya hanya sedikit. Pada keadaan planktonik, kesempatan bagi induvidu untuk terpecah dari komunitas, khususnya oleh arus dalam fasa berair, secara relatif tinggi. Hal ini jugai dialami oleh bakteri yang motil, termasuk respon khemotactic yang sejalan dengan gradien nutrien. Pada air oligotropik bakteri tumbuh seara aktif walaupun lambat, sedangkan banyak diantaranya tidak dapat mengambil makanan yang cukup untuk mendukung pertumbuhan lalu hanya survive pada keadaan lapar. Keadaan suvive-lapar ini memberikan beberapa kesimpulan adanya kemampuan bakteri untuk bertahan (revert) dalam keadaan diam (sesil). Seringkali kelaparan disertai oleh mengecilnya ukuran dan respirasi endogenous, peningkatan hidrofobisitas permukaan sel dan meningkatkan pelekatan. Faktor ini membuat bakteri cendrung melekat ke permukaan padat, dimana kesempatan untuk mendapatkan nutrisi lebih tinggi.
Beberapa sel pada populasi yang berbeda dari bakteri planktonik menempel ke berbagai macam permukaan. Pada sistim mengalir, bakteri yang melekat memperoleh akses ke sumber nutrien yang kontinyu yang dibawa oleh yang mengalir. Di laboratorium ditemukan bakteri yang kelaparan, setelah melekat ke permukaan, tumbuh menjadi ukuran yang normal kemudian memulai reproduksi sel. Pelekatan kontinyu dan pertumbuhan mendukung pembentukan biofilm.
Biofilm terbentuk karena adanya interaksi antara bakteri dan permukaan yang ditempeli. Interaksi ini terjadi dengan adanya faktor-faktor yang meliputi kelembaban permukaan, makanan yang tersedia, pembentukan matrik ekstraseluller (exopolimer) yang terdiri dari polisakarida, faktor-faktor fisikokimia seperti interaksi muatan permukaan dan bakteri, ikatan ion, ikatan Van Der Waals, pH dan tegangan permukaan serta pengkondisian permukaan. Dengan kata lain terbentuknya biofilm adalah karena adanya daya tarik antara kedua permukaan (psikokimia) dan adanya alat yang menjembatani pelekatan (matrik eksopolisakarida) dll.
Walaupun banyak bakteri dapat tumbuh pada keadaan bebas (free-living) atau planktonik, secara umum mereka melekat ke suatu permukaan dengan menghasilkan polisakarida ekstra seluller (EPS) atau pada beberapa kasus dengan menggunakan holdfast. Pelekatan ini menghasilkan mikrokoloni, sebagai awal perkrembangan biofilm yang dimulai dari satu sel tapi sering berkembang menjadi beberapa bakteri membentuk multilayers dengan matrik (Gb. 1) yang hidup pada komunitas komplek. Dalam kenyataannya, hampir semua permukaan berhubungan dengan cairan dan nutrisi akan dikoloni oleh mikroorganisme. Contoh Gambar diambil dari DG Allison & IW Sutherland
Gambar 1. Pada urutan di atas, bakteri Gram negatif (Pseudomonas strain S61) medium dibiarkan berkembang sebagai biofilm pada slide kaca yang dicelupkan dalam nutrisi yang mengandung 1% glukosa. Perkembangan biofilm diikuti teknik pewarnaan (Congo red) dimana sel bakteri bewarna merah gelap dan eksopolisakarida bewarna pink-orange (DG Allison & IW Sutherland, 1984, J. of Microbiological Methods 2, 93-99). Sel yang melekat dapat dilihat dalam 3 jam. Kemudian mereka membelah dan membentuk mikrokoloni. Setelah 5 jam perkembangan eksopolisakarida dapat dilihat dengan jelas (tanda panah) kemudia meningkat seiring dengan peningkatan ukuran mikrokoloni. klasik dari biofilm adalah yang terdapat pada gigi, mengawalai pembentukan gigi berlobang (dental caries) bilamana bakteri seperti Streptococcus mutan memecah gula menjadi asam-asam organic. Untuk dapat melihat biofilm lebih dekat cobalah jangan membersihkan pipa kamar mandi seminggui atau tidur pada bebatuan pada aliran sungai di pegunungan.
Biofilm adalah suatu bentuk mekanisme pertahanan sel. Berdasarkan studi invitro, mereka dapat menghindari serangan pertahanan inang. Contohnya sulit untuk sel fagosit untuk menelan bakteri dalam bentuk biofilm Biofilm juga lebih resisten dibandingkan dengan sel planktonik terhadap agen antibakteri. Contohnya khlorinasi biofilm sering tidak berhasil sebab biosidal hanya membunuh bakteri pada lapisan luar biofilm, sedangkan bakteri bahagian dalam tetap sehat dan biofil dapat berkembang. Penggunaan ulang agen antibakteri diantara biofilm meningkatkan resistensinya terhadap biosida.
Sel bakteri pada permukaan biofilm berbeda dari sel dengan matrik biofilm. Sifat sel yang terselubung dalam matrik dapat berubah sejalan dengan perubahan ketebalannya. Sel permukaan cendrung untuk mimic sel permuaan biofilm muda yang aktif secara metabolisme, besar tidak peduli berapa tuanya biofilm. Sel permukaan mebelah dan meningkatkan ketebalan biofilm. Oksigen yang tersedia bagi sel dalam matrik lebih sedikit oleh sebab itu mereka lebih kecil dan tumbuh dengan lambat. Bakteri akan menjadi sedikit dorman, dan menjadi aktif bila lapisan luarnya dibunuh (1). Biofilm adalah suatu kesempatan yang menarik untuk mempelajari komonitas campuran mikrbial. Pada Gb. 2 dapat dilihat dua bakteri tumbuh bersama-sama sebagai mikrokoloni campuran dengan sangat akrab.
EPS sangat penting bagi kehidupan biofilm. Dia dapat menyediakan makanan bagi biofilm, terlibat dalam mekanisme pertahanan inang, dan membantu dalam agregasi dan pelekatan permukaan (3). Perlindngan EPS menyebabkan biofilm untuk bertahan pada kondisi dimana sel planktonik sudah tidak mampu bertahan hidup.
Infeksi mikroba dapat terbentuk pada biomaterial yang secara total berada dalam tubuh manusia atau sebagian terbuka ke luar. Spesie E.coli, Staphylococci dan Pseudomonas diantaranya adalah penginvansi yang umum. Banyak bahagian gastrointestinal (rongga pencernaa) manusia dan hewan dikoloni olek kelompok spesifik bakteri (mikrobiota normal) memberi kesempatan terhadap biofilm alami yang memberikan sejumlah proteksi terhadap spesies patogenik. Penggunaan alat-alat prostetik dengan memasukkan ke tubuh manusia sering menyebabkan pembentukan biofilm pada permukaan alat-alat tersebut oleh Stahylococcus epidermidis, Stahylococci koagulase negatif yang lain dan bakteri Gram negatif penghuni normal kulit ini memiliki derajat pelekatan yang tinggi ke alat prostetik. Bakteri dalam biofilm terlindung dari antibiotik yang memacu biofilm secara kontinyu menyebarkan sumber infeksi ke bagian lain tubuh dengan terjadinya pelepasan (detachment) sel.
Setelah biomaterial dicangkok, baik jaringan sel atau mikroorganisme akan mengkoloninya. Jika sel jaringan mengkoloni pertamakali cangkokan kemungkinan besar akan berhasil. Jika bakteri mengkoloni pertama kali, banyak mikroorganisme dapat melekat ke permukaan cangkokan. Bakteri ini dapat mengkoloni dan memulai pembentukan biofilm. Karena resisten terhadap agen antibakteri, biofilm sering tidak dapat ditanggalkan dari peralatan medis, dengan demikian dibutuhkan operasi tambahan (5). Komponen biomedis yang rentan terhadap kolonisasi biofilm termasuk jantung buatan, pengganti sendi, kontak lensa, katup jantung, cangkokan gigi, intravascular catheter. Dengan kemajuan teknologi modern banyak manusia menjadi inang bagi biomaterial, dan menjadi beresiko terhadap infeksi biofilm.
Biofilm dikhawatirkan dalam industri makanan, dalam hal ini dia dapat muncul dari bahan mentah, permukaan, manusia, hewan, dan udara. Ketika makanan atau permukaan pada pabrik pemerosesan makanan terkontaminasi, bakteri dapat membentuk koloni, akhirnya membentuk biofilm. Contohnya papan iris yang digunakan untuk memotong daging dapat terinfeksi dengan mikroorganisme Mikroorganisme lain dapat menempel pada mikroorganisme yang duluan melekat dan biofilm dapat terbentuk. Pembersih yang digunakan untuk mengusap papan iris dapat membunuh planktonik , bakteri yang hidup lepas, tapi terkadang tidak mampu menembus biofilm. Makanan yang bersentuhan dengan papan iris dapat terkontaminasi.
Dalam suatu survey pada aliran sampah, populasi bakteri sesil (biofilm) melebihi sel planktonik sebanyak 200 unit logaritma. Kandungan nutrisi yang tinggi tersedia dalam sistim limbah, merangsang pertumbuhan biofilm. Biofilm yang melekat pada pipa logam dapat menyebabkan korosi. Potensi korosi dibangun antara permukaan logam yang tidak dikoloni dan permukaan logam yang dikoloni oleh biofilm. Perbedaan pH ekitar 1.5 unit dapat terjadi pada zona yang lebih rendah dari biofilm yang tumbuh pada permukaan metalik. Sel dari satu bagian biofilm dapat menghasilkan matrik eksopolisakarida yang dapat mengikat ion logam. Sel dari bagian yang lain dari biofilm akan membangun matrik yang afinitasnya rendah daripada ion metal yang larut dan akan menurunkan pH. Perbedaan antara sel saudara ini menyebabkan pergerakkan logam ke pH yang rendah, sehingga membentuk celah korosi. Ini adalah suatu contoh bagaimana biofilm dalam sistim aquatik jadi berbahaya. Para ahli tekhnik dapat menghindari korosi permukaan pipa tapi hal ini sangat sulit dan mahal.
Sebaliknya dalam lingkungan alami, bakteri dalam biofilm memiliki kapasitas untuk memurnikan, dengan menguraikan senyawa organik dan mengubah senyawa inorganik. Dengan demikian biofilm memainkan peranan yang vital dalam mengurangi akumulasi polutan. Kharakteristik ini sudah digunakan dalam management sampah dan limbah seperti trickling filter system (sistim saringan berpori) dan fluid bed reactor. Sistim ini berdasarkan besar kecilnya partikel yang menyediakan area permukaan untuk pembentukkan biofilm. Komunitas campuran mikroba tersebut memecah senyawa kimia dalam rentanga yang luas yang ada pada limbah. Sekarang penggunaan biofilm untuk menguraikan polutan pada industri sebelum dibuang ke badan perairan sudah dilakukan dibeberapa negara maju seperti Amerika Serikat.
No comments:
Post a Comment